Suasana rumah kami dari kemarin siang mulai berwarna dan bernada, beberapa orang adik perempuan Abak, adik laki-laki Ibu bersama istrinya sudah datang dan menginap. Sesuai rencana yang disepakati besok selesai salat Jumat akan dilaksanakan acara timbang tando. Keluarga Zaid akan datang membawa perundingan kapan waktu yang tepat dilaksanakan pernikahan dan baralek nya seperti apa.
Sebagai tuan rumah keluarga kami menyediakan jamuan makan, oleh sebab itu etek-etekku datang membantu Ibu memasak sekaligus menghadiri acara karena semua keputusan juga tergantung kesepakatan bako bersama dengan beberapa orang Ninik Mamak kedua belah pihak. Merekalah yang nantinya akan membuat kesepakatan acara-acara selanjutnya sampai saat akad nikah dan baralek gadang.
Selepas subuh lirih kulantunkan surah Al Kahfi, berharap Allah menyinari hari ini dengan rahmat-Nya sehingga proses batimbang tando tidak mengalami kendala. Semoga Allah juga memberi ampunan yang seluas-luasnya sehingga aku bisa diajuhkan dari godaan setan yang menggoyahkan hati dan iman.
Ada tetes bening mengiringi doa yang berbisik, “Tetapkanlah hatiku, Ya Rabb. Seandainya dia jodoh yang Engkau pilihkan untukku maka karuniakanlah kepadaku keikhlasan, kuserahkan semua urusan hidup dan matiku kepada-Mu, Ya Allah.”
Bau masakan bersantan dengan bumbu rempah asli Minang tercium sampai ke kamarku, mungkin selepas subuh bibi-bibiku sudah berkutat di dapur, menyiapkan hidangan untuk menunggu kedatangan keluarga Zaid. Jamuan makan biasanya dilakukan sebelum baretong karena dalam adat Minang ada pepatah jikok batanyo lapeh arak, jikok barundiang sudah makan. Jadi memang setiap kegiatan barundiang dilakukan setelah makan bersama.
Kulipat sajadah yang masih membentang, mengganti mukena dengan kerudung, kemudian kulangkahkan kaki ke dapur, menuju sumber aroma masakan yang sangat menggoda selera untuk segera mencicipi. Dari semalam aku memang tidak makan, sehingga membuatku bernafsu sekali mencicipi gulai ayam kampung yang masih mengepulkan asap.
“Tidak boleh.” Bibi Yanti, adik Abak, melarang dengan melototkan mata.
“Tapi, Hafsah lapar, Bi,” rengekku manja.
“Tunggu dingin dulu, tidak baik calon anak daro mencicipi masakan langsung dari kuali, bisa hilang cantikmu saat basandiang .”
Aku menurut saja saat Bi Yanti menyuruh mengambil piring kecil untuk diisi beberapa potong gulai ayam, supaya cepat dingin katanya.
Di ruang tamu beberapa orang paman dan bibiku menggelar karpet tempat dilaksanakannya paretongan. Mereka terlihat sangat bersemangat dan bahagia, itu terlihat dari pancaran wajah mereka yang ikhlas melakukan apa saja untuk kelancaran acara nanti. Meskipun lelah tenaga dan pikiran tawa mereka tetap terdengar.
Pernikahanku memang sangat dinantikan, karena aku anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan Abak. Mereka menginginkan acara baralek gadang dalam melepas masa lajangku. Sebenarnya aku tidak menginginkan acara yang berlebih-lebihan tetapi karena posisi Abak di kampung termasuk orang bagala tidak mungkin acara baralekku dilaksanakan sederhana. Ini Minangkabau, semua tatanan masyarakat sudah diatur dalam adat yang basandi Syara’, Syara’ basandi kitabbullah.
Acara timbang tando dilaksanakan ba’da zuhur, semua jamuan telah terhidang tinggal menunggu rombongan keluarga Zaid. Hamparan piring berisi beragam makanan beserta lauk tertata rapi di atas karpet merah yang telah terbentang. Piring makan dan gelas sengaja dionggok-onggok untuk beberapa orang yang diletakkan agak berjarak, di samping piring ada mug cuci tangan sebagai pengiring, tak lupa segelas serbet ikut menghiasi setiap onggokan.
Semua itu ditata oleh Paman Hasan, yang ditugasi sebagai janang karena dia merupakan Si Pangka , di Minangkabau ada aturan dan tugas masing-masing orang sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan suku.
Hampir jam dua siang, beberapa orang Ninik Mamak dari pihak Ibu mulai datang dan duduk dekat pintu yang menghadap ke kamar, sedang posisi duduk sumando menghadap keluar, semua itu sudah ada aturannya dalam tatanan adat Minangkabau. Sengaja Ninik Mamak dari keluarga pokok yang duluan hadir untuk menunggu paretongan yang akan dibawa naik oleh keluarga calon Marapulai.
Derum mesin mobil terdengar di depan gerbang, tiga buah mobil minibus berhenti dan langsung memarkir kendaraannya di samping pagar yang lapang. Beberapa orang laki-laki paruh baya berbaju hitam dan putih berjalan memasuki gerbang, salah seorang Mamak yang tadi duduk dalam rumah langsung berdiri menyambut kedatangan mereka di depan pintu. Pidato adat terdengar saling berjawaban, antara yang menunggu dan ditunggu.
Selesai ramah tamah dengan penyambutan adat, keluarga Zaid masuk ke rumah dengan senyum mengembang. Mereka dipersilakan duduk dan menempati tempat yang sudah disediakan, yaitu sejajar kamarku menghadap keluar. Semua itu menurut adat agar tamu tidak melihat langsung ke dalam rumah kita, takutnya ada yang kotor atau berserakan.
Sebelum makan bersama seorang Mamak yang bertugas sebagai juru bicara kembali berpidato pasambahan , saling jawab kembali terdengar hingga akhirnya kedua belah pihak makan bersama dalam jamuan yang penuh makna.
Beberapa saat komunikasi secara kekeluargaan berlangsung hangat tanpa sekat, timpal menimpali selorohan tentang penerimaan yang menurut mereka sedikit berlebihan, apalagi hidangan yang disediakan begitu banyak dan terasa enak di lidah. Bukan hanya sekadar basa-basi tapi begitulah cara di Minang mendekatkan dua keluarga yang akan disatukan dalam hubungan kekerabatan setelah pernikahan anak atau kemenakan mereka dilaksanakan.
Carano yang sudah berisi sirih, pinang, dan kelengkapannya diletakkan ke tengah-tengah persis di depan juru bicara keluarga Zaid, carano tersebut diketengahkan sebagai simbol akan dimulainya musyawarah. Mamak Saidi selaku juru bicara meminta Mamak pihak Zaid memakan sirih sekaligus membuka prosesi perundingan.
Perundingan berjalan dengan lancar walau terkadang ada beberapa sanggahan dari kedua belah pihak jika prosesi-prosesi menuju akad nikah berbenturan atau tidak sesuai dengan rencana salah satu pihak. Perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling menyalahkan, melainkan satu bentuk cara mencari jalan keluar yang tepat, agar semua runutan acara dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa proses yang akan dilalui sebelum baralek gadang tinggal tiga langkah lagi, malam bainai, akad nikah, dan terakhir baralek gadang
Dalam perundingan disepakati bahwa akad nikah akan dilangsungkan pada tanggal empat belas bulan Safar, tepatnya sebulan lagi setelah hari ini. Semua wajah terlihat puas dengan keputusan bersama tersebut. Etek-etekku mulai krasak-krusuk membicarakan mengenai prosesi malam bainai, dan persiapan menuju baralek gadang.
Pada acara baralek gadang, ada tahapan acara menjemput marapulai dan diarak bako , iring-iringan tersebut biasanya membawa nasi jujung , ada kue pengantin, dan berbagai bawaan yang sengaja disediakan bako untuk anak pisang . Sesuai adat Minang aku akan diarak dari rumah Etek Yanti, di sana aku akan dipakaikan baju anak daro yang disediakan keluarga Abak.
Proses timbang tando secara adat telah selesai, kesepakatan telah disetujui. Keluarga Zaid pamit dengan pidato maurak selo . Hari ini membuatku gamang karena tanggal pernikahanku telah ditetapkan, sementara aku hanya mengenal Zaid melalui foto dan cerita Ibu. Ingin bertanya lebih dalam tentang Zaid tetapi kepada siapa? Yang datang dalam acara timbang tando kebanyakan laki-laki. Keinginan bertemu langsung dengan Zaid sebelum menikah terpaksa kukubur dalam-dalam.
Sebagai tuan rumah keluarga kami menyediakan jamuan makan, oleh sebab itu etek-etekku datang membantu Ibu memasak sekaligus menghadiri acara karena semua keputusan juga tergantung kesepakatan bako bersama dengan beberapa orang Ninik Mamak kedua belah pihak. Merekalah yang nantinya akan membuat kesepakatan acara-acara selanjutnya sampai saat akad nikah dan baralek gadang.
Selepas subuh lirih kulantunkan surah Al Kahfi, berharap Allah menyinari hari ini dengan rahmat-Nya sehingga proses batimbang tando tidak mengalami kendala. Semoga Allah juga memberi ampunan yang seluas-luasnya sehingga aku bisa diajuhkan dari godaan setan yang menggoyahkan hati dan iman.
Ada tetes bening mengiringi doa yang berbisik, “Tetapkanlah hatiku, Ya Rabb. Seandainya dia jodoh yang Engkau pilihkan untukku maka karuniakanlah kepadaku keikhlasan, kuserahkan semua urusan hidup dan matiku kepada-Mu, Ya Allah.”
Bau masakan bersantan dengan bumbu rempah asli Minang tercium sampai ke kamarku, mungkin selepas subuh bibi-bibiku sudah berkutat di dapur, menyiapkan hidangan untuk menunggu kedatangan keluarga Zaid. Jamuan makan biasanya dilakukan sebelum baretong karena dalam adat Minang ada pepatah jikok batanyo lapeh arak, jikok barundiang sudah makan. Jadi memang setiap kegiatan barundiang dilakukan setelah makan bersama.
Kulipat sajadah yang masih membentang, mengganti mukena dengan kerudung, kemudian kulangkahkan kaki ke dapur, menuju sumber aroma masakan yang sangat menggoda selera untuk segera mencicipi. Dari semalam aku memang tidak makan, sehingga membuatku bernafsu sekali mencicipi gulai ayam kampung yang masih mengepulkan asap.
“Tidak boleh.” Bibi Yanti, adik Abak, melarang dengan melototkan mata.
“Tapi, Hafsah lapar, Bi,” rengekku manja.
“Tunggu dingin dulu, tidak baik calon anak daro mencicipi masakan langsung dari kuali, bisa hilang cantikmu saat basandiang .”
Aku menurut saja saat Bi Yanti menyuruh mengambil piring kecil untuk diisi beberapa potong gulai ayam, supaya cepat dingin katanya.
Di ruang tamu beberapa orang paman dan bibiku menggelar karpet tempat dilaksanakannya paretongan. Mereka terlihat sangat bersemangat dan bahagia, itu terlihat dari pancaran wajah mereka yang ikhlas melakukan apa saja untuk kelancaran acara nanti. Meskipun lelah tenaga dan pikiran tawa mereka tetap terdengar.
Pernikahanku memang sangat dinantikan, karena aku anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan Abak. Mereka menginginkan acara baralek gadang dalam melepas masa lajangku. Sebenarnya aku tidak menginginkan acara yang berlebih-lebihan tetapi karena posisi Abak di kampung termasuk orang bagala tidak mungkin acara baralekku dilaksanakan sederhana. Ini Minangkabau, semua tatanan masyarakat sudah diatur dalam adat yang basandi Syara’, Syara’ basandi kitabbullah.
Acara timbang tando dilaksanakan ba’da zuhur, semua jamuan telah terhidang tinggal menunggu rombongan keluarga Zaid. Hamparan piring berisi beragam makanan beserta lauk tertata rapi di atas karpet merah yang telah terbentang. Piring makan dan gelas sengaja dionggok-onggok untuk beberapa orang yang diletakkan agak berjarak, di samping piring ada mug cuci tangan sebagai pengiring, tak lupa segelas serbet ikut menghiasi setiap onggokan.
Semua itu ditata oleh Paman Hasan, yang ditugasi sebagai janang karena dia merupakan Si Pangka , di Minangkabau ada aturan dan tugas masing-masing orang sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan suku.
Hampir jam dua siang, beberapa orang Ninik Mamak dari pihak Ibu mulai datang dan duduk dekat pintu yang menghadap ke kamar, sedang posisi duduk sumando menghadap keluar, semua itu sudah ada aturannya dalam tatanan adat Minangkabau. Sengaja Ninik Mamak dari keluarga pokok yang duluan hadir untuk menunggu paretongan yang akan dibawa naik oleh keluarga calon Marapulai.
Derum mesin mobil terdengar di depan gerbang, tiga buah mobil minibus berhenti dan langsung memarkir kendaraannya di samping pagar yang lapang. Beberapa orang laki-laki paruh baya berbaju hitam dan putih berjalan memasuki gerbang, salah seorang Mamak yang tadi duduk dalam rumah langsung berdiri menyambut kedatangan mereka di depan pintu. Pidato adat terdengar saling berjawaban, antara yang menunggu dan ditunggu.
Selesai ramah tamah dengan penyambutan adat, keluarga Zaid masuk ke rumah dengan senyum mengembang. Mereka dipersilakan duduk dan menempati tempat yang sudah disediakan, yaitu sejajar kamarku menghadap keluar. Semua itu menurut adat agar tamu tidak melihat langsung ke dalam rumah kita, takutnya ada yang kotor atau berserakan.
Sebelum makan bersama seorang Mamak yang bertugas sebagai juru bicara kembali berpidato pasambahan , saling jawab kembali terdengar hingga akhirnya kedua belah pihak makan bersama dalam jamuan yang penuh makna.
Beberapa saat komunikasi secara kekeluargaan berlangsung hangat tanpa sekat, timpal menimpali selorohan tentang penerimaan yang menurut mereka sedikit berlebihan, apalagi hidangan yang disediakan begitu banyak dan terasa enak di lidah. Bukan hanya sekadar basa-basi tapi begitulah cara di Minang mendekatkan dua keluarga yang akan disatukan dalam hubungan kekerabatan setelah pernikahan anak atau kemenakan mereka dilaksanakan.
Carano yang sudah berisi sirih, pinang, dan kelengkapannya diletakkan ke tengah-tengah persis di depan juru bicara keluarga Zaid, carano tersebut diketengahkan sebagai simbol akan dimulainya musyawarah. Mamak Saidi selaku juru bicara meminta Mamak pihak Zaid memakan sirih sekaligus membuka prosesi perundingan.
Perundingan berjalan dengan lancar walau terkadang ada beberapa sanggahan dari kedua belah pihak jika prosesi-prosesi menuju akad nikah berbenturan atau tidak sesuai dengan rencana salah satu pihak. Perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling menyalahkan, melainkan satu bentuk cara mencari jalan keluar yang tepat, agar semua runutan acara dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa proses yang akan dilalui sebelum baralek gadang tinggal tiga langkah lagi, malam bainai, akad nikah, dan terakhir baralek gadang
Dalam perundingan disepakati bahwa akad nikah akan dilangsungkan pada tanggal empat belas bulan Safar, tepatnya sebulan lagi setelah hari ini. Semua wajah terlihat puas dengan keputusan bersama tersebut. Etek-etekku mulai krasak-krusuk membicarakan mengenai prosesi malam bainai, dan persiapan menuju baralek gadang.
Pada acara baralek gadang, ada tahapan acara menjemput marapulai dan diarak bako , iring-iringan tersebut biasanya membawa nasi jujung , ada kue pengantin, dan berbagai bawaan yang sengaja disediakan bako untuk anak pisang . Sesuai adat Minang aku akan diarak dari rumah Etek Yanti, di sana aku akan dipakaikan baju anak daro yang disediakan keluarga Abak.
Proses timbang tando secara adat telah selesai, kesepakatan telah disetujui. Keluarga Zaid pamit dengan pidato maurak selo . Hari ini membuatku gamang karena tanggal pernikahanku telah ditetapkan, sementara aku hanya mengenal Zaid melalui foto dan cerita Ibu. Ingin bertanya lebih dalam tentang Zaid tetapi kepada siapa? Yang datang dalam acara timbang tando kebanyakan laki-laki. Keinginan bertemu langsung dengan Zaid sebelum menikah terpaksa kukubur dalam-dalam.
Comments